SOROT BERITA | JAKARTA - Drama persidangan kasus sumpah palsu, dengan terdakwa Ike Farida, memasuki babak baru setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutannya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024).
JPU menuntut terdakwa, dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, dalam kasus yang menyita perhatian publik tersebut.
Dalam sidang yang berlangsung alot, JPU menghadirkan bukti-bukti kuat termasuk kesaksian ahli digital forensik, Saji Purwanto, yang membongkar percakapan WhatsApp antara Februari hingga Desember 2020.
"Hasil pemeriksaan forensik digital, menunjukkan adanya komunikasi intensif dalam grup WhatsApp antara Nurindah dengan seseorang yang dipanggil 'Sensei', yang teridentifikasi sebagai terdakwa Ike Farida," ungkap Saji.
Saji dalam kesaksiannya mengungkapkan, bahwa dalam percakapan grup WhatsApp, sosok 'Sensei' berperan sebagai pengambil keputusan utama, yang mengontrol setiap tindakan Nurindah.
"Pola komunikasi menunjukkan, bahwa setiap langkah hukum yang diambil selalu mendapat persetujuan dari 'Sensei'," tambah Saji Purwanto.
Sementara itu, Nurindah MM Simbolon, mantan kuasa hukum Ike Farida, dalam kesaksiannya pada sidang sebelumnya (25/10/2024) lalu, menegaskan keterlibatan langsung terdakwa.
"Semua memori Peninjauan Kembali beserta tiga bukti baru, merupakan hasil pembahasan dan persetujuan dari Ibu Ike Farida sebelum diajukan," terangnya.
Senada, Kuasa hukum Nurindah, Lammarasi Siholoho, menambahkan perspektif menarik dalam persidangan.
"Logikanya sederhana, bagaimana mungkin seorang advokat junior berani mengambil keputusan strategis, tanpa persetujuan seniornya yang juga pemilik kantor hukum? Aneh jika Ibu Ike mau menerima hasil kemenangan Peninjauan Kembali, tetapi menolak mengakui prosesnya," jelasnya didampingi rekannya, Bambang Ginting.
Namun, Ike Farida dengan tegas, membantah semua tuduhan yang ditujukan kepadanya.
"Saya tidak pernah menghadiri persidangan dari tingkat pertama sampai peninjauan kembali. Bahkan kami telah melaporkan Nurindah dan Yahya, ke Peradi atas dugaan pelanggaran etik," kilahnya.
JPU dalam tuntutannya juga meminta majelis hakim, untuk memerintahkan pengembalian sertifikat hak milik satu unit rumah susun dan kunci apartemen, yang pernah diserahkan pengembang PT. EPH kepada terdakwa.
Adapun tuntutan tersebut didasarkan pada Pasal 242 Ayat (1) KUHP, yang mengancam pelaku sumpah palsu dengan pidana maksimal 7 tahun penjara.
"Kami telah mempertimbangkan semua bukti dan kesaksian yang dihadirkan selama persidangan. Tidak ada alasan pemaaf bagi terdakwa, yang hingga kini tidak mengakui perbuatannya," tegas JPU dalam pembacaan tuntutan.
Kemudian, menanggapi tuntutan tersebut, tim kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatannya.
"Kami berharap saat penyampaian pledoi nanti, majelis hakim akan memberikan kesempatan kepada JPU untuk meninjau kembali tuntutannya," ujar kuasa hukum terdakwa.
Kasus ini bermula dari laporan pengembang terkait dugaan sumpah palsu, dalam proses Peninjauan Kembali tahun 2020.
Bukti digital yang dihadirkan JPU menunjukkan adanya koordinasi intensif antara Nurindah dan terdakwa, termasuk diskusi tentang strategi hukum dan persetujuan langkah-langkah dalam proses peninjauan kembali.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan pledoi dari tim kuasa hukum terdakwa. Kasus ini menjadi sorotan publik, karena melibatkan seorang advokat senior dan mengungkap kompleksitas praktik hukum di Indonesia. (Bandaharo)